Merdeka dari Bencana di Lahan Gambut

Published by hmgp.geo on

Rubrik Bincang SDGs Seri #56 | Oleh Raden Bimasakti A

Foto kebakaran lahan gambut (mongabay.co.id / Zamzami)

ndonesia adalah negara yang dikenal sebagai zamrud khatulistiwa karena luasnya hutan yang dimiliki. Hutan yang luas tersebut menghasilkan sejumlah potensi alam luar biasa salah yang satunya adalah lahan gambut. Fakta dari Katadata.co.id (2019), menunjukkan bahwa Indonesia merupakan negara yang mempunyai lahan gambut terluas kedua di dunia, setelah Brazil. Kondisi iklim dan fisik Indonesia yang basah dan lembab merupakan faktor dari luasnya lahan gambut di Indonesia. Ritung (2011) dalam Atlas Gambut Indonesia, mengemukakan bahwa tanah gambut di Indonesia memiliki luas sebesar 14,9 juta ha. Luasan tersebut tersebar di Pulau Kalimantan, Sumatra, dan Papua.

Indonesia telah menjadi bangsa yang merdeka pada 75 tahun yang lalu. Walaupun begitu, Indonesia masih memiliki masalah besar yang berkaitan dengan bencana pada lahan gambut. Bak pisau bermata dua, selain membawa dampak positif berupa sumberdaya yang melimpah, lahan gambut di Indonesia ternyata juga membawa petaka di baliknya. Petaka tersebut adalah ancaman bencana di lahan gambut. Contohnya adalah bencana kebakaran hutan dan lahan (karhutla) yang terjadi pada tahun 2019. Dilansir dari Detik.com (26/9), karhutla ini setidaknya menghanguskan 86 ribu hektar lahan gambut di Indonesia.

Ancaman tersebut tentunya memiliki dampak yang besar, baik dalam bentuk fisik maupun sosial. Oleh karena itu diperlukan tindakan untuk dapat mengurangi ancaman bencana tersebut. Tindakan tersebut dapat dilakukan melalui manajemen bencana pada lahan yang berlandaskan pada Sustainable Development Goals (SDGs). Indikator dalam SDGs, khususnya indikator 13 dan 15 mengenai Climate Action dan Life on Land merupakan dasar dalam manajemen kebencanaan lahan gambut. Kedua poin tersebut memiliki hubungan keterkaitan mengenai gagasan dan implementasi rencana manajemen kebencanaan lahan gambut.

Poin Climate Action berperan sebagai motivasi dan tujuan dalam manajemen bencana lahan gambut. Poin ini didasari oleh pentingnya peran lahan gambut terhadap pengendalian iklim dunia. Lahan gambut berperan dalam menyimpan emisi gas rumah kaca berupa karbon. Page (2011) menjelaskan bahwa lahan gambut memiliki kemampuan menyimpan emisi karbon 20 kali lipat daripada tanah mineral biasa.

Kemampuan lahan gambut dalam menyimpan emisi karbon dapat hilang ketika lahan gambut dikeringkan atau mengalami alih fungsi lahan. Bencana karhutla juga turut andil dalam hilangnya kemampuan penyimpanan emisi karbon pada lahan gambut. Hal tersebut tentu akan melepaskan emisi karbon ke udara dan menjadi emisi di atmosfer. Emisi karbon di atmosfer tersebut tentu berdampak pada efek rumah kaca yang menyebabkan perubahan iklim. Oleh karena itu diperlukan tindakan mengurangi perubahan iklim melalui manajemen bencana lahan gambut.

Manajemen bencana lahan gambut diimplementasikan melalui berbagai upaya seperti kesiapsiagaan, peringatan dini, mitigasi, tanggap darurat bencana, rehabilitasi, dan rekonstruksi. Salah satu upaya dalam melakukan manajemen bencana lahan gambut adalah dengan melakukan restorasi lahan gambut. Yuliani (2018) mengemukakan bahwa restorasi gambut adalah proses untuk mengembalikan fungsi ekologi dari lahan gambut sekaligus meningkatkan kesejahteraan rakyat. Berdasarkan definisi tersebut, tindakan restorasi sejalan dengan tahapan manajemen bencana yaitu rehabilitasi. Tindakan restorasi lahan gambut ini sejalan dengan indikator SDGs ke-15 yaitu Life on Land, terutama menjaga ekosistem lahan gambut.

Bencana pada lahan gambut merupakan belenggu masalah yang merenggut kemerdekaan Indonesia. Masalah tersebut tentu perlu menjadi pertimbangan serius oleh pemerintah Indonesia. Pemerintah perlu memikirkan ulang terkait eksploitasi lahan gambut mengingat eksploitasi memiliki konsekuensi besar terhadap iklim dan masyarakat. Pemetaan lahan gambut perlu dilakukan agar pemerintah dapat mengetahui lahan gambut yang perlu dilindungi maupun yang dapat dieksploitasi. Tindakan tersebut merupakan tindakan preventif untuk mencegah bencana pada lahan gambut.

Selain itu, pemerintah bersama elemen masyarakat setempat perlu bersinergi dalam manajemen bencana lahan gambut. Masyarakat setempat dianggap memiliki pengalaman maupun pengetahuan terkait karakter fisik maupun sosial yang ada di sana. Masyarakat dapat dilibatkan dalam manajemen bencana dengan melakukan restorasi lahan gambut. Upaya restorasi ini dapat berupa pengaturan drainase lahan gambut maupun pengembalian vegatasi lahan gambut. Upaya-upaya tersebut dimaksudkan agar masyarakat memiliki kesadaran untuk menjaga lahan gambut.

Tindakan-tindakan tersebut tentu melaksanakan indikator poin dari SDGs. Tentunya hal tersebut turut berkontribusi terhadap pembangunan Indonesia yang berkelanjutan dan tangguh bencana. Pembangunan yang berkelanjutan dan tangguh bencana ini diharapkan dapat membuat Indonesia merdeka dari belenggu ancaman bencana di lahan gambut.

Referensi

Mawardi, Isal. 2019. BRG: 86 Ribu Hektare Lahan Gambut Terbakar. Diakses dari https://news.detik.com/ pada 27 Agustus 2020.

Page, Susan E, John O. Rieley, Christopher J. Banks. 2011. Global and Regional Importance of The Tropical Peatland Carbon Pool. New Jersey: John Wiley & Sons, Inc.

Ritung, S., dkk. 2011. Peta Lahan Gambut Indonesia, skala 1:250.000. Jakarta: Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertanian

Tim Publikasi Katadata. 2019. Luas Gambut Indonesia Terbesar Kedua di Dunia. Jakarta: Katadata.co.id

Yuliani, Febri, Aulia Rahman. 2018. Metode Restorasi Gambut dalam Konteks Mitigasi Bencana Kebakaran Lahan Gambut dan Pemberdayaan Masyarakat. Jurnal Sosio Informa. 4 (2): 448–460.

Categories: Publikasi

0 Comments

Leave a Reply

Avatar placeholder

Your email address will not be published.

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.