Mengulas Implikasi Mass Tourism Dalam Pertumbuhan Aktivitas Pariwisata
Adellia Putri Rachmasari (1), Muhammad Ali Syahadah (2), Sulthan Aflahuddin (3)
(1) adellia.putri.rachmasari@mail.ugm.ac.id (2) muhammad.ali.syahadah@mail.ugm.ac.id
(3) aflathan@mail.ugm.ac.id
(123) Divisi Riset dan Keilmuan HMGP UGM 2022
(123) Pembangunan Wilayah, Fakultas Geografi, Universitas Gadjah Mada
Ilustrasi Mass Tourism.
Sumber: unsplash.com/@shlomo99
Pariwisata merupakan salah satu industri yang sangat berkembang di masa kini. Indonesia sendiri telah menetapkan pariwisata sebagai salah satu sektor ekonomi penting, karena keberadaannya mampu memberikan multiplier effects bagi sektor lainnya. Industri pariwisata dapat menjadi solusi perekonomian di beberapa tempat yang memang memiliki potensi atraksi wisata yang besar, baik atraksi alam maupun buatan.
Dalam tahapan perkembangan pariwisata, dikenal adanya teori Tourism Area Life Cycle yang dicetuskan oleh Butler pada tahun 19801. Teori ini membahas mengenai siklus perkembangan sebuah pariwisata yang meliputi arus barang, jasa, dan kepengurusan yang terlibat di dalamnya. Disebutkan, bahwa siklus hidup kawasan pariwisata terdiri dari enam fase, yakni penemuan (exploration), keterlibatan (involvement), perkembangan (development), konsolidasi (consolidation), stagnasi (stagnation) dan kemungkinan fase peremajaan (rejuvenation) atau penurunan (decline).
Tahapan exploration ditandai oleh kunjungan wisatawan avonturir atau bertipe alosentris2. Jumlah wisatawan juga masih terbatas, infrastruktur dan fasilitas belum memadai. Hal tersebut dikarenakan pada tahapan ini tempat wisata masih baru ditemukan, bahkan sebagian di antaranya merupakan fasilitas yang digunakan oleh penduduk setempat. Kemudian, pada tahapan involvement, terjadi kontak yang semakin intensif antara wisatawan dengan masyarakat lokal. Hal ini terjadi akibat kunjungan wisatawan yang semakin meningkat. Warga masyarakat mulai menyediakan berbagai fasilitas yang secara khusus diperuntukkan bagi wisatawan.
Pada tahapan berikutnya yakni development di mana pasar wisatawan relatif terpola dan cenderung bersifat massal (mass tourism). Pada musim puncak wisata, jumlah wisatawan bahkan sering melebihi jumlah penduduk lokal. Keragaman atraksi, pola pengelolaan kawasan, serta jenis kelembagaan berkembang pesat berkat volume investasi dari luar yang terus meningkat. Selanjutnya, tahapan consolidation yang mana tingkat pertumbuhan wisatawan ke kawasan mulai menurun, meskipun secara absolut angkanya naik. Hal yang menonjol adalah bahwa sebagian besar aktivitas ekonomi masyarakat didominasi oleh atau berkaitan dengan pariwisata.
Setelah tahapan consolidation tersebut, akan masuk pada tahapan stagnation. Pada tahapan ini, perkembangan pariwisata masih relatif sama dengan sebelumnya. Namun dengan demikian, jumlah wisatawan dan kemampuan industri pariwisata sudah mencapai batas maksimal, bahkan pada taraf tertentu, daya dukung fisik (carrying capacity) kawasan tampak berlebih, sehingga berdampak negatif terhadap lingkungan, sosial dan ekonomi. Setelah mencapai fase stagnation ini, kawasan pariwisata menghadapi dua kemungkinan, yakni penurunan (decline) atau peremajaan kembali (rejuvenation) bergantung pada langkah kebijakan yang akan dipilih oleh pengelola industri wisata tersebut.
Keterlibatan mass tourism dalam pertumbuhan pariwisata
Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, bahwa pada tahapan development cenderung mulai memasuki kawasan wisata yang bersifat mass tourism. Mass tourism atau pariwisata massal merupakan wisata dalam jumlah yang besar, ditinjau dari aspek wisatawan. Kuantitas kedatangan wisatawan diutamakan sehingga prospek dari wisata tipe ini adalah terjadinya konsumsi besar-besaran oleh wisatawan di dalam kawasan wisata yang telah memiliki pasar yang standar3.
Secara ekonomi, banyak keuntungan yang bisa didapatkan darinya, seperti lapangan kerja, meningkatnya pendapatan, perdagangan asing, dan lain sebagainya. Derajat keuntungan tersebut sangat tergantung kepada intensitas arus wisatawan yang masuk berwisata, dan hal tersebut sangat berkaitan dengan pertumbuhan pariwisata. Semakin tingginya intensitas dapat mengindikasikan semakin terkenalnya suatu kawasan wisata.
Intensitas yang besar ini tentunya berpengaruh terhadap kondisi sosial, budaya, ekonomi, dan tentunya kondisi lingkungan dari tempat wisata tersebut berada. Aktivitas pariwisata terkadang menjadi sulit dikendalikan dan menimbulkan degradasi dan kerusakan4. Tidak jarang dengan adanya mass tourism ini pariwisata dikaitkan dengan dampak negatif yang ditimbulkannya, terutama pada kasus kerusakan lingkungan. Selain itu, dampak sosial-budaya seringkali bernegasi dengan potensi ekonomi, menitikberatkan kepada efek buruk berupa hilangnya budaya, pengalaman yang monoton, dan overexploitation kawasan wisata. Wisatawan seringkali hanya mendapatkan paket wisata yang merupakan produk konsumsi massal, tidak terdiferensiasi, bahkan tanpa memperhatikan norma setempat. Hal ini mengakibatkan beragam masalah yang muncul dari aktivitas pariwisata massal, baik dari segi kerugian hingga kerusakan yang menimpa sekian banyak daerah-daerah wisata.
Sebagai contoh, pada daerah-daerah wisata yang telah terkenal sejak lama, seperti Taman Nasional (TN) Komodo di Nusa Tenggara Timur, atau kawasan Kuta di Bali, mendapat permasalahan besar yang sama dari pariwisata massal: terganggunya lingkungan hidup.
Dampak mass tourism di TN Komodo.
TN Komodo yang merupakan rumah dari satwa purba langka Varanus komodoensis, mendapatkan ancaman kelestarian dari satwa tersebut akibat aktivitas wisatawan yang setiap hari mengerubungi sarang-sarangnya hingga mengalami kerusakan, sehingga tidak jarang komodo betina menjadi terganggu dalam proses reproduksi dan anak komodo gagal menetas maupun takut keluar dari sarangnya5. Ancaman kelestarian tidak hanya pada satwa komodo, namun menyasar hingga ke seluruh kawasan taman nasional. Ulah wisatawan nakal yang melampaui batas tidak sulit dijumpai dan menjadi berita trending, seperti wisatawan yang menembakkan petasan ke arah kawanan Pteropus vampyrus yang sedang terbang di atas pulau Kalong6 dan kebakaran padang rumput sabana di pulau-pulau Gili Lawa7, belum lagi kerusakan terumbu karang dan ancaman pada ekosistem laut8.
Dampak mass tourism di Kuta, Bali.
Kebebasan dan target pariwisata Bali yang menargetkan kepada kuantitas wisatawan, menjadikan Bali terutama area Kuta dan sekitarnya mengalami masalah yang tidak kunjung selesai. Kemacetan, sampah yang mengotori pantai, hingga gentrifikasi dan pelecehan norma dan budaya setempat oleh turis-turis asing yang berkelakuan sewenang-wenang menjadi masalah menahun akibat tingginya arus wisatawan yang masuk ke Bali menuju level yang tidak terkendali dan overtourism9. Pemerintah Provinsi Bali sendiri telah menetapkan target wisata Bali untuk bergeser kepada quality tourism10, tidak lagi menggunakan indikator jumlah wisatawan yang masuk namun jumlah pengeluaran dan lama tinggal wisatawan yang berarti kenyamanan wisatawan untuk tinggal lebih lama menikmati layanan pariwisata yang berkualitas dan tidak sekedar produk paket wisata semata.
Dampak mass tourism di destinasi wisata “dadakan”.
Lebih jauh lagi, kemajuan teknologi infrastruktur dan penyampaian informasi yang sangat cepat di era ini menghasilkan tren viral pada lokasi-lokasi yang memiliki atraksi wisata, utamanya lanskap dan pemandangan, sehingga menjadi destinasi wisata “dadakan”. Lokasi ini umumnya dikunjungi oleh wisatawan yang mengincar kunjungan murah untuk sekedar berswafoto dan berkeliling ria menikmati panorama lokasi, namun sayangnya banyak yang berperilaku sesukanya tanpa mengindahkan kelestarian kualitas atraksi wisata tersebut. Ancaman itu seperti diamplifikasi oleh besarnya jumlah wisatawan yang datang menyerbu tempat yang sama dengan tujuan yang sama, takut ketinggalan tren berwisata di lokasi tersebut. Salah satu destinasi yang tidak hanya viral karena atraksinya, namun juga heboh akibat kerusakannya adalah Taman Bunga Amarilis yang ada di Daerah Istimewa Yogyakarta. Lokasi ini mendadak tenar setelah disiarkan oleh beberapa pengunjung awal yang takjub akan keindahan hamparan puspa pathuk bak taman-taman kembang di Benua Biru sana11. Selanjutnya, destinasi tersebut diserbu oleh seribu lebih pengunjung dalam sehari menghasilkan potensi besar yang termasuk ke dalam daya tarik wisata daerah12. Namun, tidak butuh waktu yang lama bagi lokasi ini untuk terkena getah mass tourism. Antisipasi lonjakan pengunjung tidak disadari oleh pemiliki tempat, sehingga kewalahan memperingatkan pengunjung untuk tidak menginjak bunga. Alhasil pekarangan bunga milik pribadi yang sebelumnya indah berubah 1800 akibat diinjak-injak oleh penuh sesak wisatawan yang nihil bestari menyisakan pemandangan rata dengan tanah bagi wisatawan yang telat tiba, yang mana hal ini turut disayangkan oleh pemilik tempat13.
Taman Bunga Amarilis yang rusak. Sumber: Merdeka.
Remedial bagi pertumbuhan aktivitas pariwisata
Setelah menghadapi kerugian dari dampak mass tourism, pariwisata di berbagai tempat tampaknya perlu kembali menimbang ulang apakah langkah yang telah diambil mungkin sesuai dengan karakteristiknya, atau tidak? Sebagian besar aktivitas pariwisata yang tumbuh dari mengedepankan kuantitas pasti menelan pil pahit sebagai konsekuensi menerima banyaknya jumlah wisatawan tanpa tahu masalah apa saja yang kelak termanifestasi. Apabila masih bertahan dengan mass tourism, niscaya pertumbuhan pariwisata akan stagnan bahkan memasuki tahap decline.
Maka dari itu, mulai banyak kawasan wisata yang berpaling dari mass tourism untuk memastikan keberlanjutan aktivitas di dalamnya namun tidak sampai kehilangan daya tariknya. Kawasan-kawasan terkenal seperti TN Komodo dan Bali kemudian mulai mengenalkan pengalaman wisata yang lebih sustainable. Ketimbang hanya sekedar berkunjung dan menikmati destinasi, experiential travel yang lebih otentik dengan melibatkan kearifan lokal Tri Hita Karana14 atau harmoni antara alam, manusia, dan Sang Pencipta pada relung-relung destinasi di Bali terkesan lebih menguntungkan bagi wisatawan. Adapun bagi TN Komodo, terlepas dari kontroversi pembangunan Jurassic Park pemerintah, upaya pemerintah mengonsolidasikan kondisi alam Komodo melalui pembatasan jumlah turis berpotensi mencegah Komodo dari ancaman kepunahan, dan diharapkan dapat dikembangkan lebih jauh menjadi ekowisata yang lebih berkualitas dan terkendali15. Meski dibayar dengan mahalnya tarif, perlindungan dari model sustainable tourism tersebut termasuk menjaga tapak ekologi destinasi wisata dari overcapacity dengan lebih menekankan kenyamanan berwisata yang berarti pengunjung yang kurang padat dari sebelumnya.
Destinasi-destinasi baru dan sedang naik daun pun juga perlu memikirkan tindakan yang serupa. Meskipun mass tourism cenderung tidak terpisahkan dari fase development pertumbuhan kawasan wisata, mengusung konsep yang terkait dengan kualitas berwisata dan menjaga lingkungan wisata bukanlah hal yang sia-sia. Semakin baiknya kualitas, maka umpan balik yang diberikan pengunjung akan baik pula dan berpotensi meluas, bisa saja destinasi tersebut akan semakin populer dan bisa mempertahankan kepopulerannya hingga mungkin bisa mengalihkan wisatawan dari destinasi terkenal, yang mana dimaknai sebagai situasi saling untung antar destinasi wisata dalam hal sinergi menjaga kapasitas lingkungan wisata masing-masing. Dengan demikian, pariwisata di setiap destinasi tidak akan kehilangan daya tariknya dan pertumbuhan aktivitas wisata bisa semakin tinggi, maju, merata.
Referensi:
(1) Butler, R.W. (1980). The Concept of a Tourist Area Life Cycle of Evolution: Implications for Management of Resources. Canadian Geographer Journal, 24(1), 5-12.
(2) Plog, S.C. 2001. Why Destination Areas Rise and Fall in Popularity: An Update of a Cornell Quarterly Classic. Cornell Hotel and Restaurant Administration Quarterly, Juni, 13-24.
(3) Naumov, N., & Green, D. (2014). Mass Tourism. Dalam J. Jafari, & H. Xiao (Eds.), Encyclopedia of Tourism. Springer.
(4) Haro Aragú, M., García-Mestanza, J., & Caballero-Galeote, L. (2021). Stakeholders’ Perception on the Impacts of Tourism on Mass Destinations: The Case of Seville. Sustainability, 13(16), 8768.
(5) SIGA, H. R. (2010). Ekowisata di Taman Nasional Komodo:: Sistem pemantauan dampak wisatawan terhadap sarang komodo menggunakan kerangka kerja Lac (limits of Acceptable change) (Thesis). Tersedia dari ETD Universitas Gadjah Mada (46776).
(6) Putera, M. I. (2022, April 05). Ada Petasan di Perairan Pulau Kalong Rinca, Balai TN Komodo Beri Sanksi Tegas. Kementrian LHK RI. Diakses dari https://www.menlhk.go.id/site/single_post/4748
(7) Sohuturon, M. (2018, Agustus 03). Gili Lawa Ludes Terbakar, Polisi Usut Peran ‘Indonesia Juara’. CNN Indonesia. Diakses dari https://www.cnnindonesia.com/nasional/20180803174755-12-319344/
gili-lawa-ludes-terbakar-polisi-usut-peran-indonesia-juara.
(8) Maeilana, R, (2017, Mei 11). Banyak Wisatawan Nakal, Terumbu Karang Pulau Komodo Terancam Bernasib seperti Raja Ampat. KBR. Diakses dari https://kbr.id/nasional/05-2017/
banyak_wisatawan_nakal__terumbu_karang_pulau_komodo_terancam_bernasib_seperti_raja_ampat/90123.html?msclkid=5579eea4cbb211ec8c9ca70f4e0ae481
(9) Suyadnya, I. W. (2021). Tourism Gentrification in Bali, Indonesia: A Wake-up Call for Overtourism. MASYARAKAT: Jurnal Sosiologi, 163-190.
(10) Devita, R. (2020, Januari 03). Kuantitas Wisatawan Tak Lagi Target Utama Bali. Balipost. Diakses dari https://www.balipost.com/news/2020/01/03/96963/Kuantitas-Wisatawan-Tak-Lagi-Target…html
(11) Goenawan, M. A. (2015, November 29). Mau Selfie Kenapa Rusak Taman Bunga?. Detikinet. Diakses dari https://inet.detik.com/cyberlife/d-3083116/mau-selfie-kenapa-rusak-taman-bunga.
(12) Hanggraito, A. A., & Sanjiwani, N. M. G. (2020). Tren Segmentasi Pasar dan Perilaku Wisatawan Taman Bunga Amaryllis di Era 4.0. Journal of Tourism and Creativity, 4(1), 43-58.
(13) Wicaksono, P. (2015, November 30). Kebun Bunga Rusak Gara-Gara Selfie, Ini Tanggapan Pemilik. Tempo. Diakses dari https://nasional.tempo.co/read/723283/kebun-bunga-rusak-gara-gara-selfie-ini-
tanggapan-pemilik/
(14) Aldira, C., Wibowo, L. A., & Yuniawati, Y. (2014). Sustainable tourism di Pantai Kuta Bali Dalam persepsi wisatawan (survei terhadap wisatawan mancanegara {Australia, Cina dan Jepang} yang berkunjung Pantai Kuta Bali). THE Journal: Tourism and Hospitality Essentials Journal, 4(2), 793-810.
(15) BBC News Indonesia (2019, Juli 22). Wacana penutupan Taman Nasional Komodo : Apakah Pulau Komodo dan Labuan Bajo menghadapi ancaman pariwisata massal?. BBC. Diakses dari https://www.bbc.com/indonesia/indonesia-48510506
0 Comments