LOCKDOWN: BAGAIMANA NASIB WILAYAH?

Published by hmgp.geo on

Novirene Tania1, Adji Saiddinullah2

Guest Writer: M. Galang Ramadhan A.T3

1novirenetania@mail.ugm.ac.id 2adjisaiddinullah@mail.ugm.ac.id 3galang.ramadhan.at@mail.ugm.ac.id

123Divisi Riset dan Keilmuwan HMGP UGM 2020

123Pembangunan Wilayah, Fakultas Geografi, Universitas Gadjah Mada

————————————————————————————————————

Novirene Tania1, Adji Saiddinullah2

Guest Writer: M. Galang Ramadhan A.T3

1novirenetania@mail.ugm.ac.id 2adjisaiddinullah@mail.ugm.ac.id 3galang.ramadhan.at@mail.ugm.ac.id

123Divisi Riset dan Keilmuwan HMGP UGM 2020

123Pembangunan Wilayah, Fakultas Geografi, Universitas Gadjah Mada

————————————————————————————————————

Pandemi COVID-19 telah menggemparkan dunia. Tercatat pada 31 Desember 2019, WHO China Country Office melaporkan kasus pneumonia yang tidak diketahui etiologinya di Kota Wuhan, Provinsi Hubei. Disusul pada tanggal 30 Januari 2020, WHO telah menetapkan kasus COVID-19 sebagai Kedaruratan Kesehatan Masyarakat Yang Meresahkan Dunia/Public Health Emergency of International Concern (KKMMD/PHEIC) (Kementerian Kesehatan RI, 2020).

Adanya pandemi COVID-19 berdampak pada berbagai sektor. Kehidupan yang semula hiruk pikuk dengan urusan di bidangnya masing-masing kini seketika harus mengikuti berbagai kebijakan pemerintah negara yang bersangkutan untuk satu tujuan: menghentikan rantai penyebaran COVID-19.

Penambahan jumlah kasus COVID-19 berlangsung cukup cepat dan sudah terjadi penyebaran antarnegara. Berdasarkan data dari WHO, per 11 April 2020, total 1.610.909 kasus yang dikonfirmasi telah dilaporkan untuk penyakit COVID-19 secara global dan terdapat 99.690 kematian yang dilaporkan terkait dengan COVID-19 yang tersebar di 213 negara. Sementara itu, untuk kasus COVID-19 di Indonesia, berdasarkan data dari Gugus Tugas Percepatan Penanganan COVID-19 menyebutkan bahwa per tanggal 11 April 2020, telah terkonfirmasi 3.842 kasus dan 327 kematian terkait dengan COVID-19 dengan 286 telah pulih.

Berbicara tentang upaya pemutusan rantai penyebaran pandemi global ini, masyarakat dan pemerintah saling dihadapkan pada pro dan kontra terkait kebijakan “lockdown”. Intensitas penggunaan media sosial yang semakin meninggi karena perubahan sementara orientasi pekerjaan menjadi work from home menyebabkan para penggunanya banyak berkomentar tentang kebijakan yang semakin memanas. Lantas, sebenarnya apakah itu lockdown?

Ditinjau dari asal katanya, lockdown bermakna sebagai kondisi isolasi atau pembatasan akses sebagai langkah pengamanan. Penekanan lockdown berada pada konteks bahwa pembatasan akses tersebut dilakukan secara ‘ketat’ – mengunci akses masuk dan keluar. Dalam konteks penyebaran COVID-19, lockdown merujuk pada kondisi yang bertujuan untuk menghentikan penyebaran COVID-19 secara lebih meluas lagi. Tiongkok sebagai salah satu negara yang terdampak pandemi ini turut mengambil kebijakan lockdown terhadap kota-kota di Provinsi Hubei seperti Wuhan, Huanggang, Ezhou, Chibi, Qianjiang, Zhijiang, Jingmen, Xiantao, Xiaogan, dan Huangshi (Lestari, 2020). Pertanyaannya adalah bagaimana dengan Indonesia? Penghebohan berita di dunia maya semakin membuat keputusan Indonesia yang sampai saat ini tidak mengambil kebijakan lockdown seolah-olah menjadi sesuatu yang sangat salah. Masyarakat menyayangkan hal ini karena melihat trend jumlah kasus positif COVID-19 di Indonesia terus bertambah.

Bertindak sebagai seorang akademisi tentu kita perlu secara bijaksana untuk menelisik segala pertimbangan mengapa kebijakan perlu ada atau tidak ada. Tidak hanya dari satu sektor, tetapi secara komprehensif. Orientasi waktu pun juga harus diperhatikan – kondisi pasca COVID-19 juga tidak kalah pentingnya untuk dipertimbangkan seperti halnya kondisi penanganan yang sedang berlangsung saat ini.

Berperan sebagai pandemi global yang dampaknya begitu kompleks, maka pendekatan wilayah menjadi solusi atas cara pandang yang harus digunakan. Apapun bentuk dan wujudnya suatu fenomena yang mempengaruhi sistem kehidupan suatu wilayah termasuk juga pandemi, maka ‘wilayah’ dalam hal ini tidak hanya berperan sebagai suatu ‘objek’ tetapi juga ‘subjek’. Lokasi yang dirujuk ketika berbicara tentang kebijakan yang diberlakukan juga tidak boleh lepas dari pantauan pemerintah. Secara sederhana, penerjemahan kalimat ini dapat berupa “ketika lockdown di negara A diberlakukan, apakah sudah pasti cocok dan sama efektifnya ketika diberlakukan di negara B?”.

Wilayah termasuk negara, provinsi, kabupaten/kota, dan daerah administratif lain di bawahnya dibangun atas karakter yang berbeda-beda; baik karakter fisik maupun sosial. Perbedaan karakter berdampak pada perbedaan kapasitas serta kerentanan terhadap dampak fenomena yang terjadi di dalamnya. Integrasi karakter fisik dan sosial dapat dilihat dengan kapasitas masing-masing tiap wilayah baik dari segi ekonomi, sosial, budaya, maupun politik.

Meninjau lockdown dalam sudut pandang ekonomi bersentuhan erat dengan kemampuan ekonomi wilayah masing-masing. Ketahanan dalam mencukupi, mengelola, dan mengatur perputaran sumber-sumber modal yang ada sangat perlu diperhatikan. Lumpuhnya laju perekonomian dalam waktu singkat menjadi pertimbangan yang sangat masuk akal perlu diperhitungkan ketika lockdown diberlakukan. Hal ini sangat wajar karena lockdown juga meliputi penutupan akses terhadap segala jenis interaksi dalam perdagangan antarwilayah. Paradigma “tidak ada uang semua lumpuh” tidak selalu bernilai negasi karena dalam keadaan saat ini, ekonomi juga perlu diperhatikan untuk menjaga keberlangsungan proses pemulihan COVID-19 yang tentu membutuhkan biaya yang tidak sedikit.

Setiap bencana, termasuk pandemi COVID-19, ada kerugian ekonomi yang besar. Namun, harus dibedakan antara kerugian karena pandemi itu sendiri, dan kerugian karena kalkulasi strategi. Mudiknya puluhan ribu orang dari Jakarta ke berbagai wilayah di Jawa, merupakan imbas dari pandemi secara sosial. Bisnis macet. Konsumsi menurun. Ini berbeda dengan misal suatu daerah menetapkan karantina wilayah, lalu menyusun strategi penyelamatan hajat hidup ekonomi (jaminan makanan). Memang terkadang ada perdebatan, mudik tidak perlu terjadi jika pemerintah pusat dan pemerintah daerah melakukan bla bla bla. Itu mungkin benar. Namun, hal ini jangan sampai memburamkan realitas ekonomi dari pandemi ini.

Ekonomi dan politik bagai dua sisi yang tidak dapat dilepaskan salah satunya. Keberlangsungan ekonomi termasuk salah satu sektor yang terbingkai dalam kerangka politik. Relasi, interaksi, dan kolaborasi tidak hanya dibutuhkan untuk memperjuangkan kondisi wilayah dalam posisi sama-sama mengejar keuntungan, tetapi juga dibutuhkan dalam kondisi dimana salah satu atau keduanya sama-sama terpuruk untuk mencapai pemulihan bersama. Jelas sudah bagaimana dampak bagi kehidupan politik jika lockdown diberlakukan?

    Menyikapi pandemi COVID-19 dalam kacamata politik juga erat kaitannya dengan kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah, salah satunya seperti kebijakan lockdown atau penggunaan diksi lainnya, juga memicu instabilitas politik suatu wilayah. Menurut Chris Miller dalam Purnama (2020) menyebutkan bahwa sejak pandemi COVID-19 merebak telah terjadi krisis kepercayaan (problem of trust) warga negara terhadap kekuasaan. Sementara itu, menurut Purnama (2020) wabah COVID-19 tidak bisa hanya dimaknai sebagai wabah penyakit global, tetapi juga sebagai bencana politik yang tercipta secara alamiah atau by nature untuk menguji tingkat kepercayaan publik terhadap pemangku kekuasaan. Efektivitas pemerintah dalam merespon ancaman pandemi ini berupa pembuatan kebijakan-kebijakan termasuk dalam mempertimbangkan untuk memberlakukan kebijakan lockdown akan menunjukan sejauh mana simpati publik pada kekuasaan terus terpelihara.

Kini kita beralih kepada sektor sosial yang sangat familiar dan bersentuhan langsung dengan kehidupan kita sehari-hari. Rantai sosial dalam konteks pemberlakuan kebijakan lockdown juga dapat dipengaruhi oleh dampak ekonomi. Ketidakseimbangan ekonomi akibat pandemi berdampak pada kesejahteraan masyarakat dan dikhawatirkan memicu kerentanan sosial yang massif di masyarakat. Kerentanan sosial (social vulnerability) ini menjadi realitas nyata yang terjadi pada masyarakat dalam menghadapi wabah COVID-19 (Syaifudin, 2020).

Sejenak mari kita kilas balik pada kondisi krisis ekonomi 1998 dimana kerusuhan berupa penjarahan di berbagai kawasan pertokoan berbagai wilayah muncul sebagai efek domino yang membekas dalam sejarah. Samakah kasus krisis ekonomi 1998 dengan kasus kelumpuhan ekonomi akibat dampak COVID-19? Semua kembali lagi kepada pernyataan di awal bahwa setiap wilayah dibangun oleh karakteristik sosial yang berbeda-beda. Perilaku masyarakat sebagai objek dalam lingkup sosial berjalan begitu kompleks dan dinamis menyesuaikan dengan perubahan fenomena yang mungkin mengancam kelangsungan hidupnya.

Sedikit menyinggung kepada pembahasan di awal, seperti apa kebijakan yang diambil Indonesia saat ini?

Ramai sudah di berita bahwa Pemerintah Indonesia menggunakan istilah Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) untuk mengendalikan penyebaran wabah COVID-19. Penggunaan istilah ini telah diatur dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2020. PSBB yang dimaksud di sini menurut peraturan tersebut yaitu pembatasan kegiatan tertentu penduduk dalam suatu wilayah yang diduga terinfeksi COVID-19 sedemikian rupa untuk mencegah kemungkinan penyebaran COVID-19. Kegiatan yang dibatasi dalam peraturan tersebut paling sedikit meliputi: (a) peliburan sekolah dan tempat kerja; (b) pembatasan kegiatan keagamaan; dan (c) pembatasan kegiatan di tempat atau fasilitas umum. Pembatasan pada poin c dilakukan dengan memperhatikan pemenuhan kebutuhan dasar penduduk. Lebih lanjut dijelaskan bahwa kebutuhan dasar yang dimaksud yaitu kebutuhan pelayanan kesehatan, kebutuhan pangan, dan kebutuhan kehidupan sehari-hari lainnya. Selain itu, pemerintah juga akan membuat kebijakan yang mengutamakan 3 hal, yaitu keselamatan kesehatan, social safety net (jaring pengaman sosial), dan dampak ekonomi.

Undang-Undang Nomor 6 tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan juga menjadi salah satu peraturan yang kembali ditekankan sebagai dasar kebijakan yang diambil oleh negara kita di tengah pandemi ini. Pasal-pasal di dalamnya memuat tentang beberapa istilah penting yang perlu kita ketahui seperti karantina rumah (Pasal 1 angka 8), karantina wilayah (Pasal 1 angka 10), karantina rumah sakit (Pasal 1 angka 9), bahkan PSSB seperti yang telah disinggung di atas. Karantina wilayah menjadi pilihan Indonesia yang saat ini sering kita dengar, lihat, dan baca dari pemberitaan terbaru penanganan COVID-19. Karatina wilayah yang berarti ‘pembatasan penduduk dalam suatu wilayah termasuk wilayah pintu masuk beserta isinya yang diduga terinfeksi penyakit dan/atau terkontaminasi sedemikian rupa untuk mencegah kemungkinkan penyebaran penyakit atau kontaminasi’ apakah sama dengan lockdown? Kekritisan kita dibutuhkan untuk menganalisis lebih dalam sehingga kita semakin menjadi orang-orang yang kritis dan selektif.

Meninjau dampak yang ditimbulkan pada aktivitas ekonomi, sosial, dan politik sebagaimana telah dijelaskan di atas dapat tercermin nasib suatu wilayah akibat pandemi COVID-19. Apapun jenis kebijakan yang diambil pemerintah, nasib yang melanda masyarakat dalam suatu wilayah tentunya perlu segera dipikirkan strategi pemulihannya. Tujuannya tidak lain tidak bukan adalah agar kondisi masyarakat dapat segera bangkit dan normal kembali ketika wabah ini berakhir.

Strategi pemulihan pasca kebijakan penanganan COVID-19 ini pun bukan hanya tanggung jawab pemerintah, tetapi tanggung jawab kita bersama. Diperlukan kebijaksanaan dari seluruh elemen dalam mengatasi pandemi COVID-19 ini. Pemerintah, lewat juru bicaranya saja sudah berkali-kali menyampaikan bahwa tanpa komunitas mustahil dapat mengatasi pandemi ini. Oleh karena itu, inisiatif komunitas, baik berbasis teritori maupun sektoral, harus terus diberi ruang gerak yang longgar, bahkan dimajukan perspektifnya. Kita, masyarakat sipil, ikut membantu memperjelas. Semoga kita tetap saling menjaga dan membantu sejauh yang bisa kita lakukan!            

Referensi

Inoue, H., Todo, Y. (2020). The Propagation of the Economic Impact Through Supply Chains: The Case of a Mega-City Lockdown Against the Spread of Covid-19, Elsevier.

Kementerian Kesehatan. Tentang Novel Coronavirus (NCOV). Jakarta: Kementerian Kesehatan, 2020. Online. Diakses dari https://www.kemkes.go.id

Lestari, N. (2020). Menimbang Mahalnya Biaya ‘Lockdown’. Diakses dari Publikasi Ilmiah Biro Administrasi Akademik Universitas Muhammadiyah Malang, …

Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2020 Tentang Pembatasan Sosial Skala Besar

Purnama, A. N. (2020, 23 Maret). Ekonomi dan Politik Indonesia dalam Bayang-Bayang Covid-19. Tulisan pada https://www.hidayatullah.com/

Syaifudin. (2020, 31 Maret). Covid-19, Kerentanan Sosial, dan Gagalnya Physical Distancing. Tulisan pada https://kolom.tempo.co/

Telaumbanua. (2020). Urgensi Pembentukan Aturan Terkait Pencegahan Covid-19 di Indonesia. Jurnal Pendidikan, Sosial, dan Agama. Vol 12 no 1.

Categories: Publikasi

0 Comments

Leave a Reply

Avatar placeholder

Your email address will not be published.

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.