Inovasi Kolektif Komunitas Strategi Perang Defensif Lawan Korona
Muhammad Galang Ramadhan AT1
1galang.ramadhan.at@mail.ugm.ac.id
1Divisi Riset dan Keilmuwan HMGP UGM 2020
1Pembangunan Wilayah, Fakultas Geografi, Universitas Gadjah Mada
“Seni tertinggi perang adalah untuk menaklukkan musuh tanpa pertempuran.”
– Sun Tzu, The Art of War
Pada pertengahan abad 20, hidup seorang pendeta hindu mantan pengacara di India bernama Mahatma Gandhi. Gandhi terkenal dengan bentuk protesnya terhadap Pemerintah Kolonial Inggris. Ada suatu prinsip yang sekiranya hampir semua orang di Indonesia mempelajarinya juga di pelajaran IPS sewaktu SMP. Prinsip tersebut adalah ahimsa, suatu ajaran dalam Hindu untuk melawan tanpa ada kekerasan. Sejatinya, ahimsa dalam strategi pertempuran memiliki kedekatan dari defensive battle atau strategi tempur bertahan.
Sejatinya strategi ini bukanlah tidak melawan sama sekali atau pasif. Kunci pertama dari strategi ini ialah seberapa besar kemampuan kita menahan serangan lawan, untuk kemudian melakukan serangan balik. Kunci kedua adalah expect the unexpected, dalam mempertimbangkan dampak dari apa yang akan kita lakukan. Kunci ketiga adalah thinking the unthinkable dalam hal mempertimbangkan solusi harus unik dan tidak terpikirkan (Dalton, 2012). Secara kurang lebih kesabaran, kedisiplinan, dan kreativitas adalah muatan yang terkandung dalam strategi ini. Strategi inilah yang secara prinsipil digunakan Mahatma Gandhi dalam melawan Pemerintah Kolonial Inggris. Akhirnya, Inggris kalah dan bersedia menyerahkan kekuasaan dan kemerdekaan bagi India.
Kondisi Saat Ini
Ibaratkan perang, pandemi COVID-19 merupakan serangan yang mendadak dari hal yang tidak secara jelas kita pahami. Pada awalnya kesan sombong terlihat pada beberapa individu saat COVID-19 mulai menyebar. Sehingga, akibatnya ketika betul-betul virus ini menyebar dan menjangkiti banyak orang di Indonesia semua orang tidak siap sepenuhnya. Apabila diperhatikan strategi yang kita lakukan pada penyakit cenderung bersifat ofensif. Menganggap diri manusia lebih unggul daripada virus kecil. Di sini dapat terlihat bahwa pada awalnya kita tidak memperhatikan poin kunci kedua strategi bertahan yakni tidak memikirkan dampak dari hal yang dilakukan.
Permasalahan ini sebenarnya hingga esai ini ditulis masih saja menjadi hal yang umum terjadi. Bahkan ketika swakarantina dan PSBB yang dilakukan pemerintah berjalan masih ada saja yang melanggar. Entah menggunakan dalih bosan, ikatan sosial, tradisi, bahkan mengatasnamakan agama. Walaupun himbauan tidak henti-hentinya disampaikan. Bentuk pertahanan manusia adalah dengan tidak melakukan kontak fisik dengan manusia yang lain atau yang acap kali disebut physical distancing. Saat ini pemerintah Indonesia juga menerapkan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) sesuai Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Wilayah. PSBB ini dilakukan di beberapa wilayah di Indonesia yang memiliki kasus kejadian yang besar atau episentrum penularan.
Pun dengan berbagai pengabaian masih diperparah sulitnya akses pada penghidupan dan bahan pangan maupun alat kesehatan. Hal ini tentu menjelaskan bahwa kesiapan kita untuk ‘berperang’ lama belum cukup baik. Apalagi akhir dari corona yang belum pasti. Hanya masalah waktu saja sebelum kita kalah dalam peperangan berkepanjangan ini. Sampai di sini mulai kita pahami apa maksud dari kisah di awal esai ini. Siapa yang menang adalah yang terbaik dalam bertahan dan mengambil kesempatan untuk menyerang balik saat musuh lengah.
Kreativitas Masyarakat
Sewaktu diwawancara oleh sebuah stasiun televisi, juru bicara pemerintah Achmad Yurianto menyatakan beberapa hal utamanya adalah peran masyarakat dalam menanggulangi pandemi corona. Pertama adalah menjaga komunitas, beliau mencontohkan bagaimana misalnya sebuah perumahan melakukan pengawasan yang ketat kepada anggota perumahan. Siapa saja yang mau keluar dari perumahan tersebut, apa tujuannya, dan jika tujuannya tidak penting maka diminta di rumah saja. Kalau mereka ingin membeli air galon, maka diteleponkan oleh kolektif perumahan. Kalau mereka butuh membeli beras, juga dibantu, dan hal lainnya. Kedua, beliau mencontohkan sebaiknya warga Indonesia meneladani apa yang dilakukan oleh warga Vietnam. Di Vietnam, bahkan orang yang sudah diketahui terjangkit corona, “dijaga” oleh tetangga mereka. Kebutuhan mereka dibantu oleh tetangga yang masih sehat. Warga yang sakit dikarantina di rumah dan semua kebutuhan mereka disokong oleh tetangga dekat mereka. Warga menjaga warga. Kolektivitas dan komunalitas menjadi kata penting dalam perang defensif ini.
Beberapa waktu lalu di lini masa Twitter bertebaran banyak sekali foto lockdown di kampung-kampung yang berada di wilayah Yogyakarta. Patut dipahami bahwa istilah lockdown ini merupakan istilah yang tidak perlu disangkutpautkan dengan makna lockdown sebenarnya. Maklum, sekarang ini banyak pihak sensitif soal lockdown, baik yang kontra maupun yang mendukung. Apa yang disebut “lockdown” itu pada prakteknya adalah menutup beberapa ruas jalan. Biasanya untuk masuk ke sebuah kampung, ada banyak jalan. Beberapa ruas ditutup sehingga orang hanya bisa lewat jalan tertentu. Fungsinya adalah untuk mengawasi orang yang masuk dan orang yang keluar dari kampung tersebut. Orang-orang kampung masih bisa melakukan aktivitasnya untuk keluar dan masuk kampung, tentu dengan memberi tahu mereka mau melakukan apa. Kalau tidak penting-penting amat, diminta tidak usah meninggalkan kampung. Jadi bukannya dilarang keluar beraktivitas.
Kalau dilihat dari polanya, itu bukan sebuah “pembangkangan” kepada pemerintah pusat. Sebab kita semua tahu keputusan lockdown hanya boleh diputuskan oleh pemerintah pusat. Masyarakat hanya “meminjam” istilah “lockdown” yang memang sedang menjadi salah satu istilah yang paling sering didengar masyarakat baik dari media arus utama maupun dari media sosial. Apa yang terjadi dengan istilah “lockdown mandiri kampung”, yang foto-fotonya bertebaran itu pun dilakukan dengan mandiri dan spontanitas. Justru hal ini benar benar menjadi bukti partisipasi masyarakat secara mandiri dapat merespon dengan cepat tanpa harus menunggu keputusan dari atas.
Modal sosial merupakan faktor penting bagi strategi defensif masyarakat melawan COVID-19. Masyarakat Yogyakarta yang menjadi bagian dari dua momentum besar saat terjadi gempa bumi dan erupsi Merapi, tidak mengherankan dengan inisiatif sendiri untuk turut serta terlibat secara aktif dalam melalui masa-masa sulit sekarang ini. Dari dua pengalaman itu, masyarakat tahu persis bagaimana dalam menghadapi bencana. Masyarakat langsung tahu apa yang mesti mereka lakukan. Mereka berusaha berkontribusi dengan cara masing-masing.
Gotong Royong Virtual
Prakteknya, inisiatif yang punya kontribusi besar secara sosial, dengan modal keguyuban dan kegotongroyongan yang tinggi tidak cukup dilakukan masyarakat sendiri. Usaha perang defensif harus merupakan aksi kolektif yang tercakup dalam komponen tetrahelix yakni antara masyarakat, pemerintah, swasta, dan akademisi.
Aksi Pembagian Face Shield Oleh Magno Design (Sumber: Instagram Spedagi)
Serial Diskusi dan Kanal Info Pangan Jogja Departemen Ilmu Ekonomi Fakultas Ekonomika dan Bisnis UGM (Sumber: Instagram & Sonjo)
Sebagaimana tertera di gambar dapat dilihat bahwa kontribusi dunia usaha dengan akses terhadap alat produksi dan tenaga kerja dapat berjalan. Magno Design merupakan usaha desain produk yang berada di Temanggung. Perusahaan yang awalnya memproduksi sepeda dan radio dari bambu beralih memproduksi pelindung wajah. Perusahaan ini menyasar pedagang pasar yang merupakan garda terdepan perputaran ekonomi masyarakat. Terutama di kota kota kecil seperti Temanggung. Sonjo (Sambatan Jogja) merupakan gerakan kemanusiaan yang fokus membantu masyarakat yang rentan dan berisiko terkena dampak penyebaran COVID-19 di DIY. Sonjo di sini merupakan peran akademisi menggunakan keahliannya untuk membuat basis data yang mengubungkan demand and supply khususnya pada kebutuhan pangan. Sonjo juga aktif melakukan berbagai diskusi baik via WAG maupun Webex guna mendesiminasikan riset kepada masyarakat awam secara sederhana dan mudah dimengerti.
Sebagaimana kutipan di awal, sejatinya bagaimana kita mengalahkan musuh sebaiknya adalah menghindari perang terbuka dengan menantang virus. Sebab kemenangan terbaik adalah dengan jumlah korban seminimal mungkin walau dengan pengorbanan yang tidak sedikit. Apabila strategi perang defensif ini dilakukan saya yakin, pagi setelah tragedi ini adalah pagi yang berbeda. Pagi yang akan membuat kita lebih rendah hati lagi. Pagi yang akan membuat kita bertemu untuk bicara baik-baik tentang apa yang terbaik yang bisa kita lakukan untuk kehidupan yang lebih nyaman tanpa saling serang merusak.
Epilog
“Sebab jika akhir dari ini semua adalah ternyata kita bisa mengalahkan corona dengan berpikiran diri kita lebih berkuasa karena menyerang, bisa jadi sikap angkuh kita akan lebih menonjol lagi. Dunia kembali ingin kita kuasai dengan jemawa. Justru dengan itu, kepongahan kita akan menjadi-jadi sebagai spesies yang paling hebat dan mumpuni.”
-Puthut EA dalam Surat untuk Virus Corona
Pustaka
Dalton, D., 2012. Mahatma Gandhi: Nonviolent power in action. New York: Columbia University Press.
Tzu, S., Vu, S.C., Tzu, S. and Sun, W., 1971. The Art of War. Oxford: Oxford University Press
0 Comments