Publikasi
Sonia Nada Salsabila
sonianada2020@mail.ugm.ac.id
Divisi Riset dan Keilmuan HMGP UGM 2022 Pembangunan Wilayah, Fakultas Geografi, Universitas Gadjah Mada
Tugu Yogyakarta
Sumber: Wikipedia Indonesia, Kota Yogyakarta
Yogyakarta merupakan kota yang dikelilingi oleh wilayah sub urban hingga rural area di sekitarnya. Berdasarkan letak Geografis, Kota Yogyakarta terletak antara 110°24’19”-110°28’53” Bujur Timur dan antara 07°15’24”- 07°49’26” Lintang Selatan. Kota Yogyakarta memiliki luas hanya sebesar 32,5 Km2 atau 1,02 % dari luas wilayah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Jarak terjauh dari utara ke selatan kurang lebih 7,5 km dan dari barat ke timur kurang lebih 5,6 km. Kota Yogyakarta yang terletak di memiliki kemiringan lahan yang relatif datar antara 0 – 2 %. Secara administratif Kota Yogyakarta terdiri dari 14 kecamatan dan 45 kelurahan. Terletak di tengah Provinsi DIY dan dikelilingi Kota atau kabupaten lainnya dengan batas wilayah sebelah utara yakni Kabupaten Sleman, sebelah timur yakni Kabupaten Bantul, dan sebelah selatan dan barat yaitu Kabupaten Bantul dan Sleman.
Tabel suhu Kota Yogyakarta
Sumber: Cuaca Bulanan di Yogyakarta, Daerah Istimewa Yogyakarta, Indonesia | AccuWeather
Beberapa tahun belakangan, fenomena kenaikan suhu atau temperatur harian cenderung dapat dirasakan. Tidak dapat dipungkiri bahwa akhir akhir ini terasa sangat panas. Pada bulan September 2022, merupakan salah satu bulan dengan temperatur terpanas setelah 5 tahun terakhir, yakni tercatat antara 31-35 derajat Celcius pada hari-hari tertentu. Tentunya hal ini berkaitan dengan perubahan penggunaan lahan atau alih fungsi lahan akibat adanya pembangunan perkotaan yang semakin massif dari tahun ke tahun. Alih fungsi lahan pada hakikatnya merupakan konversi fungsi sebagian atau seluruh kawasan lahan dari fungsi semula menjadi fungsi lainnya. (Jayadi et al., 2018). Berkurangnya luasan RTH pada kawasan perkotaan mengakibatkan timbulnya ketidakseimbangan lingkungan negatif yang berdampak pada ketidakteraturan kondisi fisik kota sebagai ekoregion dalam mewujudkan ekosistem perkotaan yang sehat.
RDTR Kota Yogyakarta
Sumber: INTANTARUBERINFO (jogjaprov.go.id)
Kota Yogyakarta sebagai pusat kegiatan di DIY memiliki ciri khas wilayah perkotaan. Hal ini dapat dilihat dari jenis penggunaan lahan yang didominasi lahan terbangun. Penggunaan lahan di kota Yogyakarta pada didominasi oleh perumahan, yaitu seluas 2.101,79 hektar. Sesuai dengan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW), Kota Yogyakarta merupakan pusat kegiatan ekonomi, terutama jasa pelayanan. Sektor jasa mengalami peningkatan luas menurut jenis penggunaan lahannya. Luas lahan untuk kegiatan jasa meningkat dari 279,59 hektar pada tahun 2012 menjadi 281,33 hektar pada tahun 2016. Peningkatan ini menggambarkan dinamika perekonomian Kota Yogyakarta yang ditopang oleh sektor jasa.
Perubahan fungsi lahan tentunya bertolak belakang dengan tuntutan yang tertuang dalam poin SDGs Nomor 11 yakni “Sustainable Cities and Communities”. Target utama poin tersebut memastikan agar proses urbanisasi dapat berjalan secara inklusif dan berkelanjutan yang diwujudkan melalui penyediaan RTH yang layak. Di lain sisi, penetapan standarisasi RTH sebanyak 30 persen dari luas total suatu kawasan hendaknya perlu dikaji kembali mengingat hal tersebut sangat bersifat relatif tergantung kebutuhan oksigen per wilayahnya. RTH cenderung lebih mementingkan fungsi estetika cenderung fungsi ekologisnya.
Hal ini juga berkorelasi dengan angka pertumbuhan penduduk yang semakin bertambah dari tahun ke tahun. Angka pertumbuhan penduduk tentunya berhubungan dengan kebutuhan lahan yang terus meningkat secara eksponensial terutama lahan permukiman, industri, serta jasa dan menyebabkan ekspansi daerah perkotaan. Menurut BPS (2021), angka pertumbuhan penduduk Indonesia masih berada pada angka 0,98 persen dengan akumulasi total sebanyak 273,87 juta jiwa per Juni 2021. Kondisi tersebut memperlihatkan bahwa angka pertumbuhan penduduk Indonesia tergolong masih tinggi, tidak terkecuali di Daerah Istimewa Yogyakarta terutama di Kota Yogyakarta dan Kabupaten Sleman. Kondisi tersebut dipicu oleh tingkat pertumbuhan kawasan terbangun yang tinggi di Daerah Istimewa Yogyakarta. Terlebih lagi, lokasi beberapa kampus seperti Universitas Gadjah Mada, Universitas Negeri Yogyakarta, dan beberapa universitas lainnya tentunya berimplikasi pada tingginya arus migrasi masuk yang berasal dari mahasiswa yang berkuliah di kampus tersebut.
Foto Jalan Ring Road Utara
Sumber: Dokumentasi Penulis
Adanya peningkatan jumlah penduduk yang datang juga menyebabkan semakin meningkatnya emisi gas rumah kaca. Menurut Zhao et al. (2006), peningkatan efek Urban Heat Island akan selaras dengan ekspansi perkotaan dalam setiap tahunnya yang dipengaruhi pesatnya peningkatan urbanisasi. Menurut Ren et al. (2003) dalam Zhao et al. (2006), kota dengan pusat kegiatan akan mengalami penurunan kualitas udara dan air seiring dengan peningkatan urbanisasi dan peningkatan jumlah kendaraan. Peningkatan populasi penduduk tentunya berkorelasi positif terhadap penggunaan kendaraan bermotor pada suatu wilayah yang mana angka pertumbuhan penduduk yang tinggi mengindikasikan kebutuhan kendaraan bermotor yang tinggi pula. Masifnya penggunaan kendaraan bermotor akan meningkatkan emisi karbondioksida (CO2) di udara yang berakibat pada bertambahnya polusi.
Ketersediaan RTH yang tidak memadai akan berpengaruh terhadap peningkatan suhu pada suatu wilayah. Pasalnya, emisi CO2 yang dihasilkan oleh kendaraan bermotor turut berkontribusi dalam menghasilkan GRK (Gas Rumah Kaca). Emisi GRK yang dihasilkan dapat memicu penurunan kualitas lingkungan yang diikuti oleh peningkatan suhu dan ketidakpastian cuaca dan iklim secara terus menerus sehingga berakibat fatal pada tingkat polusi dan kesehatan penduduk pada kawasan perkotaan (Putra & Roosandriantini, 2021). RTH (Ruang Terbuka Hijau) notabene berfungsi sebagai stok karbon pada kawasan perkotaan, apabila RTH maupun luas hutan berkurang maka dapat mengakibatkan peningkatan suhu pada skala mikro.
Adanya fenomena ekspansi perkotaan menimbulkan perkembangan kota yang tidak terarah dan menyebar yang lebih dikenal dengan istilah urban sprawl. Perkembangan Kota yang tidak terkontrol tentunya memiliki efek samping terhadap kondisi ekologi serta kualitas lingkungan yang ada. Adapun karakteristik perkembangan kota yang tidak terkontrol, diantaranya yakni munculnya area kumuh dan ilegal, adanya kebutuhan ruang yang lebih untuk jalan, tidak ada rencana kota terpusat dengan baik untuk fungsi wilayah, didominasi oleh transportasi privat dan perkembangan area komersial seperti permukiman yang terus bertambah dengan cepat. Ekspansi daerah perkotaan juga menyebabkan penurunan luas lahan hutan dikarenakan alih fungsi lahan menjadi lahan terbangun yang mengakibatkan terjadinya permasalahan ekologi pada berbagai sektor, di antaranya menimbulkan fenomena Urban Heat island atau peningkatan suhu yang lebih hangat di daerah perkotaan dibandingkan dengan lingkungan pedesaan disekitarnya (Oke, 2000). Hal tersebut semakin diperparah dengan adanya malregulasi penegakkan hukum tata guna lahan berupa banyaknya celah dan kelonggaran praktik lapangan.
Foto Gedung di Yogyakartas
Sumber: Dokumentasi Penulis
Dilihat dari arah perkembanganya, Kota Yogyakarta mulai berkembang menyebar ke sekelilingnya. Salah satunya Kecamatan Mlati, Sleman. Kecamatan Mlati sebagai salah satu pinggiran Yogyakarta telah memperoleh pengaruh yang signifikan terutama dalam hal penggunaan lahan. Hal ini jelas dari persentase evolusi perubahan penggunaan lahan antara 1996 – 2010, yang mencapai 10,32% dari total permukaan kecamatan ini, dimana sebelumnya banyak ditemukan lahan pertanian namun sekarang sudah banyak berubah menjadi permukiman dan gedung gedung (Ramlan & Rudiarto, 2015). Hal ini tentunya terjadi di Kecamatan lain di sekitar Kota Yogyakarta seperti Kecamatan Depok, Kotagede, Kasihan, Banguntapan dan kecamatan lainnya.
Fenomena Urban Sprawl tentunya memerlukan kontrol dan kebijakan dari pemerintah agar pembangunan kota yang terjadi kedepannya dapat ditangani dengan strategis dan efisien. Hal tersebut sesuai dengan ketentuan Undang-Undang No. 26 Tahun 2007 pasal 11 tentang penataan ruang, dimana pemerintah daerah Kota melaksanakan penetapan kawasan strategis kabupaten/kota, melakukan perencanaan tata ruang kawasan strategis kabupaten/kota, pemanfaatan ruang kawasan strategis kabupaten kota, dan pengendalian pemanfaatan ruang kawasan strategis kabupaten/kota.
Upaya yang dapat dilakukan dalam mengatasi permasalahan ini diantaranya yakni dengan menerapkan smart growth dalam mengatasi dampak terhadap ekologi dan lingkungan. Dalam merencanakan kota, perlu adanya sinergitas antara pemerintah dengan masyarakat dalam menciptakan lingkungan perkotaan yang berwawasan lingkungan. Perlu adanya rencana pembangunan strategis secara holistic sesuai dengan perencanaan dan arah pembangunan perkotaan. Perencanaan smart growth dapat mencakup penggunaan compact landuse, perencanaan jejaring jalan yang lebih efisien, melakukan promosi penggunaan transportasi public, adanya perencanaan terintegrasi antar wilayah, peran pemerintah dalam merencanakan dan memonitor regulasi, serta perlu adanya tindak tegas dari pemerintah sebagai pemegang kontrol apabila berkaitan dengan kepentingan publik.
REFERENSI:
BPS KOTA YOGYAKARTA. Kota Yogyakarta Dalam Angka 2022.
BPS. Laju Pertumbuhan Penduduk. Diakses Pada 30 September 2022, Melalui https://www.bps.go.id/indicator/12/1976/1/laju-pertumbuhan-penduduk.html
Jayadi, I Made Yogi. Christiawan, Putu Indra. Sarmita, I Made. (2018). Dampak Pertumbuhan Penduduk Terhadap Daya Dukung Lahan Pertanian di Desa Sambangan. Jurnal Pendidikan Geografi Vol. 8 Tahun 2018. Jurusan Pendidikan Geografi, Universitas Pendidikan Ganesha Singaraja, Indonesia.
Oke, A. T. (2000). The Energetic Basic of the Urban Heat Island. Quarter. J. Roy. Meteor. Soc., 1-24.
Putra, H. A., & Roosandriantini, J. (2021). Ruang Perawatan Isolasi Sebagai Bentuk Ruang Pemisah Pasien Covid-19 Di Rumah Sakit Umum Haji Surabaya. Jurnal Arsitektur dan Perencanaan (JUARA), 4(1), 49-61.
Ramlan dan Rudiarto. 2015. Pengendalian Urban Sprawl di Wilayah Pinggiran (Studi Kasus: Perkembangan Kota di Indonesia dan Perancis). Jurnal Pembangunan Wilayah dan Kota.
Undang-Undang No. 26 Tahun 2007.
Zhao, S., Da, L., Tang, Z., Fang, H., Song, K., & Fang, J. (2006). Ecological consequences of rapid urban expansion: Shanghai, China. Frontiers in Ecology and the Environment, 4(7), 341-346.
2 Comments
Mulyani · April 5, 2019 at 5:44 am
Terimaksih informasinya. Salam geografi!!!
hmgp.geo · May 11, 2019 at 5:23 am
Salam geografi !!!!
Comments are closed.