Kehangatan Rumah Keluarga, Hilang Diterjang Gelombang Murka, Siapa Yang Salah?
Remah-Remah Keteledoran: Kehangatan Rumah Keluarga, Hilang Diterjang Gelombang Murka, Siapa Yang Salah?
Oleh: Nurmaliza Utari
Divisi Riset dan Keilmuan
Indonesia merupakan negara kepulauan yang terdiri atas ribuan pulau besar dan kecil yang berderet, tersebar dari Sabang hingga Merauke. Kepala Pusat Perencanaan Pembangunan Hukum Nasional, Agus Subandriyo dalam Warta BPHN (2015) mengatakan bahwa Indonesia merupakan negara kepulauan yang terbesar di dunia yang terdiri dari 17.499 pulau dari Sabang hingga Merauke. Luas total wilayah Indonesia adalah 7,81 juta km2 yang terdiri dari 2,01 juta km2 daratan, 3,25 juta km2 lautan, dan 2,55 juta km2 Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE). Dengan demikian, sebagian besar wilayah Indonesia merupakan daerah pantai dengan panjang garis pantai kurang lebih 81.000 km. Oleh karena itu pemanfaatan wilayah pantai merupakan isu utama yang perlu dikelola dengan baik oleh pemerintah, baik pemerintah pusat maupun daerah secara terintegrasi. Hal ini dikarenakan pantai dan laut merupakan tumpuan harapan bangsa yang tak terganti dari masa ke masa.
Wilayah pantai negara Indonesia kaya akan sumber daya, sehingga pantai dikatakan sebagai aset berharga bagi bangsa Indonesia. Sumber daya yang terkandung di wilayah pantai sangat beragam, baik dari segi perikanan, terumbu karang, hutan bakau, minyak dan gas, bahan tambang dan mineral, hingga pariwisata. Tidak heran jika seiring dengan pertumbuhan penduduk yang pesat disertai dengan meningkatnya intensitas pembangunan di segala bidang, lahan di wilayah pantai mulai dirambah untuk memenuhi kebutuhan penduduk. Selain karena wilayah pantai yang potensial, ketersediaan lahan terutama di kota-kota besar yang kian terbatas juga menjadi pemicu pemanfaatan lahan di wilayah pantai. Para investor mulai menjangkau penggunaan lahan di wilayah pesisir atau pantai dan menjadikannya sebagai tempat kegiatan usaha, mengingat selama ini wilayah pantai belum banyak dimanfaatkan. Adapun pemanfaatan lahan wilayah pantai yang telah dilakukan dianggap belum optimal dalam menggali potensi wilayah pantai.
Kawasan pantai dengan sumber dayanya yang menggiurkan menjadi ladang mata pencaharian yang sangat menarik, khususnya bagi para nelayan. Akibatnya, nelayan cenderung ingin mendirikan tempat bermukim di sekitar pantai. Sudah menjadi naluri manusiawi, setiap pekerja ingin bertempat tinggal dekat dengan tempat bekerjanya, yakni laut sebagai tempat mereka menangkap ikan dan hasil laut lainnya. Namun demikian, seiring pesatnya pembangunan, wilayah pantai kini telah penuh sesak oleh banyaknya bangunan milik perorangan atau badan usaha privat (investor) yang didirikan di garis pantai, bahkan melampauinya hingga banyak bangunan tampak menggantung di atas tebing laut. Pantai-pantai yang semestinya terbuka untuk kepentingan umum, kini berada dalam belenggu monopoli pihak bermodal besar. Permasalahan penguasaan lahan ini menyebabkan banyak nelayan kesulitan untuk mencari tempat bermukim, bahkan untuk menyandarkan perahu-perahu mereka pun, mereka tak lagi memiliki ruang. Tentu saja fenomena ini telah merampas fungsi sosial dari laut yang merupakan milik khalayak umum dalam hal meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Pembangunan wilayah pesisir dan lautan selama ini menunjukkan hasil yang kurang optimal. Bagaimana tidak, fenomena banyaknya bangunan-bangunan di sepanjang pantai akibat penguasaan wilayah pantai oleh investor menyebabkan kepentingan nelayan tradisional menjadi terkesampingkan. Akhirnya, mau tidak mau, nelayan mulai membangun permukiman dengan turut merambah kawasan sempadan pantai, bahkan dari waktu ke waktu semakin dekat dengan garis pantai. Padahal berdasar Undang-Undang RI Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, sempadan pantai dikategorikan sebagai kawasan lindung, tepatnya sebagai kawasan perlindungan setempat. Dengan demikian seharusnya kawasan sempadan pantai steril dari kegiatan pembangunan. Mengingat, wilayah pantai merupakan kawasan dengan ekosistem yang khas karena memiliki keanekaragaman hayati yang tinggi dan berfungsi menyangga kehidupan masyarakat pantai, sehingga keberadaannya perlu dilestarikan dengan menetapkan kawasan melindunginya, yakni berupa sempadan pantai. Maka kawasan sempadan pantai sangat diperlukan keberadaannya.
Pantai merupakan wilayah yang sangat rentan terhadap perubahan, baik perubahan akibat ulah manusia maupun perubahan akibat gejolak alam. Ulah manusia merupakan penyebab dominan yang mempengaruhi wilayah pantai. Desakan kebutuhan ekonomi menyebabkan wilayah pantai yang seharusnya menjadi wilayah penyangga daratan menjadi tidak dapat mempertahankan fungsinya. Dalam rangka melindungi wilayah pantai dari usikan kegiatan yang mengganggu kelestarian fungsi pantai, maka diperlukan adanya kawasan sempadan pantai. Undang-Undang RI Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil memaparkan bahwa sempadan pantai adalah daratan sepanjang tepian yang lebarnya proposional dengan bentuk dan kondisi fisik pantai, minimal 100 meter dari pasang tertinggi ke arah darat. Berikut dalam Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan RI Nomor 21 tahun 2018 tentang Tata Cara Penghitungan Batas Sempadan Pantai, batas sempadan pantai adalah ruang sempadan pantai yang ditetapkan berdasarkan metode tertentu.
Penentuan batas sempadan pantai pada tingkat perencanaan implementasi dilakukan oleh pemerintah daerah kabupaten/kota setempat, hal ini sebagaimana diatur dalam Peraturan Presiden RI Nomor 51 Tahun 2016 tentang Batas Sempadan Pantai. Akan tetapi, tidak dengan sembarang menentukan, pemerintah kabupaten/kota harus berpedoman pada jarak minimal yang ditentukan oleh pemerintah pusat, yakni sejauh 100 meter dari pasang tertinggi ke arah darat. Sebelum dilakukan penentuan batas oleh pemerintah kabupaten/kota, pemerintah daerah provinsi setempat berkewajiban menentukan arahan batas sempadan pantainya dalam Peraturan Daerah tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi. Artinya, radius sempadan pantai di daerah kabupaten/kota manapun tidak boleh kurang dari 100 meter dan harus sesuai dengan arahan pemanfaatan ruang yang telah ditentukan oleh masing-masing pemerintah provinsi.
Penghitungan batas sempadan pantai oleh pemerintah kabupaten/kota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 Peraturan Presiden RI Nomor 51 Tahun 2016 tentang Batas Sempadan Pantai, harus disesuaikan dengan karakteristik topografi, biofisik, hidro-oseanografi pesisir, kebutuhan ekonomi dan budaya, serta ketentuan lain di masing-masing wilayah. Ketentuan lain ini meliputi tingkat risiko bencana, ekosistem pesisir, akses publik, serta saluran air dan limbah. Ketentuan yang paling perlu diperhatikan adalah mengenai tingkat risiko bencana. Mengingat ketentuan ini hampir berkaitan dengan semua ketentuan pokok yang perlu dipertimbangkan, terutama yang berakitan dengan kondisi fisik pantai yakni karakteristik topografi, biofisik, dan hidro-oseanografi pesisir.
Indonesia merupakan negara dengan tingkat kerawanan bencana yang sangat tinggi. Seperti yang telah diketahui, dilansir dari laman Literasi Publik, Indonesia terletak pada pertemuan tiga lempeng tektonik dunia, yakni Lempeng Indo-Australian, Eurasia, dan Lempeng Pasifik. Ketiga lempeng tersebut hingga kini masih bergerak aktif, sehingga apabila ketiga lempeng tektonik itu bertemu, dapat menghasilkan tumpukan energi yang memiliki ambang batas tertentu. Tumbukan dan gesekan antarlempeng menyebabkan terjadinya guncangan yang selanjutnya disebut sebagai gempa bumi. Tidak hanya itu, Indonesia juga berada pada Pasific Ring Of Fire (cincin api) yaitu jalur rangkaian gunung api paling aktif di dunia yang membentang sepanjang lempeng pasifik. Zona ini memberikan kontribusi hampir 90 persen dari kejadian gempa di bumi dan hampir semuanya merupakan gempa besar di dunia. Itulah yang menyebabkan Indonesia merupakan wilayah rawan terhadap bencana karena ancaman dari bencana gempa bumi, gelombang tsunami, dan gerakan tanah dengan intensitas yang cukup tinggi.
Bisa dikatakan hampir semua jenis bencana pernah terjadi di Indonesia. Bahkan di suatu daerah bisa terjadi beberapa jenis bencana alam yang berbeda dengan kurun waktu yang beruntun, yang mana suatu bencana dapat memicu terjadinya bencana yang lain. Seperti yang terjadi pada bulan Desember 2018 lalu di wilayah pesisir Banten dan Lampung, aktivitas Gunungapi Anak Krakatau memicu terjadinya tsunami yang meluluhlantakkan kedua wilayah. Posisi gunungapi yang terletak di tengah laut, yakni Selat Sunda yang merupakan laut pemisah antara kedua wilayah, mengakibatkan gunungapi ini menyimpan potensi bahaya bencana terhadap wilayah pantai. Oleh karena itu, sudah semestinya pemerintah daerah setempat menetapkan regulasi guna mencegah dan mengurasi risiko kerugian akibat bencana yang kemungkinan terjadi. Regulasi yang paling mendasar adalah mengenai penetapan kawasan lindung pantai, yakni kawasan sempadan pantai dengan mempertimbangkan ketentuan risiko bencana, sehingga kerugian akibat bencana dapat diminimalkan.
Namun pada kenyataannya, gelombang air laut yang terjadi akibat aktivitas Anak Krakatau Desember 2018 lalu, berhasil menimbulkan kerugian yang tidak sedikit, serta memakan korban jiwa yang cukup banyak. Lima kabupaten di Banten dan Lampung tersapu oleh air. BNPB mencatat terdapat 426 orang meninggal, 7.202 orang luka, 23 orang hilang. Selain itu, juga tercatat bahwa sedikitnya terdapat 1.296 unit rumah rusak, 78 penginapan dan warung rusak, serta 434 perahu dan kapal rusak. Selain itu, 69 kendaraan roda empat dan 38 kendaraan roda dua tercatat rusak. BPNB juga menyebut terdapat satu dermaga dan satu shelter rusak. Sutopo mengatakan kerugian akibat tsunami begitu besar karena tak ada pemberitahuan akan datangnya bencana. Terlebih lagi bencana datang di lokasi wisata (Florentin dan Ninis, 2018). Padahal gelombang yang terjadi akibat longsoran material Gunung Anak Krakatau yang jatuh ke laut ini jika ditinjau dari segi ketinggian gelombang dan radius jauhnya gelombang, tergolong tidak terlalu tinggi dengan jangkauan yang juga tidak terlalu jauh.
Foto udara kerusakan akibat tsunami Selat Sunda di wilayah pesisir Pandeglang, Banten
(Siswadi dan Erwin, 2018 (tempo.co))
Ditinjau dari penggunaan lahan di daerah terdampak tsunami, sebagai contoh di salah satu lokasi apabila dilihat dari foto udara hasil dokumentasi milik Majalah Berita Tempo, tampak bahwa posisi bangunan-bangunan sangat dekat dengan bibir pantai, bahkan kepatadan bangunan tersebut tergolong tinggi. Hal ini tentu sangat disayangkan, mengingat seharusnya area tersebut masih merupakan area yang steril dari pembangunan. Bahkan parahnya, bangunan di area terlarang itu bukan hanya milik nelayan, namun juga milik para investor yang berupa hotel, restoran, pertokoan, dan bangunan-bangunan pelayanan lainnya. Alhasil, gelombang yang menerjang seolah menyampaikan pesan alam yang murka akibat ulah manusia yang seenaknya dalam memanfaatkan alam. Meski belum diketahui dengan pasti apakah hal ini merupakan bentuk pelanggaran terhadap rencana tata ruang atau tidak, yang jelas pembangunan di area dekat bibir pantai tentu tidak bisa dibenarkan. Mengingat sudah menjadi rahasia umum, bahwa area di sepanjang garis pantai yang selanjutnya disebut sempadan pantai ini merupakan lahan milik negara yang penggunaannya tidak boleh sembarangan.
Kawasan sempadan pantai menurut Sugito (2016), merupakan kawasan yang dikuasai oleh Negara dan dilindungi keberadaannya karena berfungsi sebagai pelindung kelestarian lingkungan pantai. Dengan demikian kawasan sempadan pantai menjadi ruang publik dengan akses terbuka bagi siapapun (public domain). Status lahan sempadan pantai yang merupakan tanah negara mengisyaratkan bahwa yang berhak menguasai dan memanfaatkannya sesuai dengan fungsinya adalah negara dalam hal ini yaitu pemerintah. Pemerintah sebagai pemegang hak pengelolaan, memegang peranan dalam mengendalikan pemanfaatannya tersebut. Pengendalian bisa dilakukan berupa kontrol dalam memberikan izin pemanfaatan tanah kawasan pantai pada pihak ketiga berdasarkan perjanjian. Selain itu, Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah mempunyai kewajiban mengadakan pengawasan terhadap pengelolaan kawasan pantai oleh pihak ketiga tersebut. Sebelumnya perlu dilakukan pengetatan pemberian izin lokasi untuk pemanfaatan tanah pantai.
Namun dalam implementasi pengelolaan wilayah pantai, justru sering terjadi fenomena pembangunan di dekat garis pantai. Anehnya, fenomena ini dipicu oleh pola hidup dan paradigma pembangunan yang dilakukan oleh masyarakat bersama pemerintah itu sendiri yang kurang mengacu pada kaidah kelestarian lingkungan. Mereka kurang memperhatikan daya dukung lingkungan. Padahal kelestarian lingkungan juga akan terkait dengan keselamatan mereka sendiri. Akibatnya, seperti yang telah terjadi di pesisir Banten dan Lampung, pembangunan yang mereka lakukan di area tersebut habis dihantam gelombang hingga hanya menyisakan puing-puing bangunan tak berarti. Belum lagi nyawa sebagian dari mereka yang hilang terbawa gelombang akibat keteledoran mereka sendiri. Oleh karena itu, regulasi penggunaan lahan wilayah pantai harus kembali ditegakkan dengan tegas. Jangan sampai terjadi lempar batu sembunyi tangan antara berbagai pihak yang terlibat dalam penyebab kerugian akibat bencana gelombang besar yang dialami masyarakat wilayah pantai.
Referensi:
Literasi Publik. 2018. Wilayah Indonesia Rawan Terhadap Bencana., https://www.literasipublik.com/wilayah-indonesia-rawan-bencana. (Diakses tanggal 24 Januari 2019).
Sugito, Nanin Trianawati & Dede Sugandi. 2016. “Urgensi Penentuan dan Penegakan Hukum Kawasan Sempadan Pantai”. Jurnal Geografi Gea. Vol 8(2).
Florentin, Vindry dan Ninis Chairunnisa. 2018. BNPB: Potensi Tsunami Akibat Gunung Anak Krakatau Masih Ada. https://nasional.tempo.co/read/1159841/bnpb-potensi-tsunami-akibat-gunung-anak-krakatau-masih-ada/full&view=ok. (Diakses tanggal 24 Januari 2019).
Warta BPHN. 2015. Indonesia Merupakan Negara Kepulauan Yang Terbesar di Dunia. https://bphn.go.id/news/2015102805455371/INDONESIA-MERUPAKAN-NEGARA-KEPULAUAN-YANG-TERBESAR-DI-DUNIA. (Diakses tanggal 24 Januari 2019).
Dokumen perundangan:
Republik Indonesia. 2007. Undang-Undang No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang.
Republik Indonesia. 2007. Undang-Undang No. 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.
Republik Indonesia. 2018. Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan No. 21 Tahun 2018 tentang Tata Cara Penghitungan Batas Sempadan Pantai.
Republik Indonesia. 2016. Peraturan Presiden No. 51 Tahun 2016 tentang Batas Sempadan Pantai.
Sumber gambar:
Siswadi, Anwar dan Erwin Prima. 2018. Longsoran 64 Ha Gunung Anak Krakatau Picu Tsunami Selat Sunda. https://tekno.tempo.co/read/1158443/longsoran-64-ha-gunung-anak-krakatau-picu-tsunami-selat-sunda/full&view=ok. (Diakses tanggal 24 Januari 2019).
2 Comments
Veni · March 9, 2019 at 10:16 am
Tuhhh udah feeling punya Utari yang terbaik. Mantappp, baguss bangettt artikelnya, sungguh perspektif PW yang berbeda
hmgp.geo · March 28, 2019 at 1:37 am
Terima kasih untuk tanggapannya.
Comments are closed.